Seorang Lelaki yang Patah dengan Wajah yang Ramah

Untuk kedua kalinya Aku mematahkan hatiku hanya untuk tahu seberapa bingung dia memandangku. Malam-malam yang kita habiskan dengan teleponan, bercanda tentang tebak-tebakan pikiran kita yang malu-malu, atau tentang kekasihmu yang kau kasihani. Sementara Aku masih tetap tertawa dan menghibur diriku sendiri. Hingga dini hari menjelang semua seperti sebelumnya, seorang lelaki terbaring dengan sesak di dada yang penuh pertanyaan-pertanyan cinta yang menolak banyak jawaban dengan perasaan pada seorang perempuan yang mendebarkan.

Perempuan hangat kukira tak akan lahir di kota ini selain nenekku. Kota yang membenci senyuman-senyuman palsu, tapi gemar berbicara hangat tentang orang lain. Aku mengira perempuan seperti kau tak akan bertemu denganku. Hangat dan suka mencubit bahkan memukul lengan seorang lelaki yang lupa cara menyenangkan diri bahkan lupa cara menggunakan hatinya sendiri.

Di kota ini. Perasaan-perasaan yang baru lahir tidak pernah berumur panjang. Entah karena tak tahan dingin atau mulut orang-orang yang sibuk memikirkan orang lain. Setelah kembali dari perantauan dan percaya bahwa cinta perlu banyak waktu, kukira bertemu perempuan seperti kau malam itu tak menyisahkan senyuman di malam hari. Kupikir kau bintang yang berkilau sendiri.

Sewindu sejak malam itu, sentuhan dan senyuman darimu barangkali lebih hangat dari pasangan kekasih yang bertemu kembali setelah sekian lama saling mencari. Entah karena jarak, atau karena restu orang tua. Semua tentangmu bahkan terletak 5 cm di atas kepalaku. Semua tampak begitu jelas sampai Aku mau mengaku kepadamu. Aku terlalu sering tersenyum sejam sebelum lelap tiba.

Berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Ingatan kukira tidak berbahaya. Bahkan fiksi tentang cinta yang pernah Aku tulis kupikir romantis hingga Aku hampir lupa bahwa kau memiliki atau dimiliki orang lain. Maaf frasa “orang lain” barangkali benar kata Sartre, Neraka! Kupikir patah hati di kota ini terlalu kejam.

Malam itu setelah senja cukup indah untuk kita bermain di tepi danau, dengan air tawar yang cukup manis kita tertawa sambil membayangkan mana yang lebih dingin, danau Mooat atau kota kelahiranku atau kota kita atau hati orang-orang yang lama berdiam diri. Seperti berat badan yang kau keluhkan dingin mulai membawa kita kembali ke pelukan kita masing-masing. Pelukan malam yang kukira begitu menyesakkan. Dingin di kening dan hangat dikenang seperti kata penyair favoritku. Dadaku bergetar di setiap napasmu.

Malam itu pertanyaan barangkali benar-benar menakutkan. Seperti tenggelam di danau sambil melihat kau tersenyum atau kau patah hati tak mencintaiku. Seperti kekasih yang kau miliki atau dimiliki, Aku batu yang diam di dasar danau malam itu, tanpa kau, tanpa kita bahkan kota ini seperti asing bagiku.

Aku bertanya “sedalam apa kau mampu menghangatkanku?” Atau coba aku ubah “bagaimana Aku di pikiranmu?” Sekali lagi aku bertanya Bagaimana perasaanmu?

Pikirku apakah kau dingin senja itu atau hangat malam hari sebelum kantuk di mataku tiba?

Lalu, dari semua pertanyaan dan jawaban yang lahir dari bibirmu hanya pertanyaan yang bersemayam untuk diriku sendiri. Harus sedalam apalagi Aku tenggelam? Lalu kau bingung dan sungai mengalir di pipimu. Dan gempa waktu bergemuru di dadaku dengan wajah yang tersenyum Aku berbisik seperti filsuf “tenang, aku pandai menari dengan hatiku sendiri.”

Sebelum suara Tuhan memanggil-manggil Aku mendapati kenyataan bahwa bisa saja benar “kau yang hangat di kening, kau yang dingin dikenang” kukira salah bait puisi ini. Atau Aku memang lelaki yang patah tapi dengan wajah yang ramah. Kau khawatir tubuh kita mulai berjarak atau perasaan kita tak begitu jelas. Katamu “jangan pergi dan jangan berubah” Aku tertawa dan getaran di dadaku semakin berantakan.

Sampai pukul embun pagi, kau perlahan mulai terlelap dengan telepon genggam di telingamu atau di hatimu. Aku sedang terus berpikir harus sedalam apalagi Aku jatuh kepadamu atau berdiam. Wahai danau, kota yang dingin, malam yang demam, dan embun pagi yang berserakan, bantu lelaki yang dingin di hadapan kopi hangat ini tumbuh di pagi hari sekali lagi.

* * *

Jika langit berubah senja aku selalu duduk di teras rumah untuk melihat langit  dan gumpalan awan yang keluar dari balik gunung tempat matahari itu terbit. Tak seperti cuaca kota yang kukenal dulu, kali ini seperti saling memahami. Jika beruntung atau memang sengaja kulakukan, ada segelas kopi atau teh hangat yang menguap di sampingku. Aku berharap ada kau di sampingku. Sore ini, Aku ingin bicara. Mungkin kau dengar. Nanti kau tahu sendiri maksudku.

Beberapa hari setelah Aku merasa cukup sedih dan rindu yang begitu tiba-tiba, atau perasaan yang mulai Aku sebut cinta. kebiasaan ini kulakukan untuk menghibur diriku sendiri. Memang butuh waktu yang cukup lama untuk membiasakan diri jauh dari kau yang masih mencintai pria lain yang kau pikir mencintai kau pula. Sialnya Aku tahu kisah kau dan dia.

Masihkah kau ingat ketika kita pertama kali berbicara malam itu. Dan awalnya kupikir ini awal yang baik untuk mengenalmu sampai kudengar suaramu semakin mendebarkan jantungku saat kau mulai terdengar tertawa dan banyak bercanda dengan lelucon kau sendiri. Awal yang menyenangkan pikirku malam itu sampai Aku lupa sejam sebelum tidur Aku mengeja namamu dengan jantung yang tak biasa.

Setelah itu, Aku mulai curiga dengan Tuhan yang sering mempertemukan Aku dan kau. Di hutan, danau, pohon-pohon, di keramaian. Di rumahmu atau bahkan di manapun ada kau. Di manapun tempat kau merasa tenang dan kupikir yang paling sering adalah di pikiranku. Aku harap kau juga. Sepertinya Aku jatuh cinta.

Seiring berlalunya waktu, ketika kita mulai membangun cerita yang mulai menarik dan itu membuat Aku tenang karena butuh waktu lebih untuk Aku mengerti tiap kata dan kalimat yang keluar dari balik senyum kau atau bunga yang mekar indah di hadapanku.

Di hari-hari yang semakin menyebalkan ini. Aku memikirkanmu, selalu. Sampai surat ini kutulis setelah jarak ini benar-benar nyata atau tidak sama sekali. Aku ingin kau mendengar tiap kata-kata yang keluar di hatimu sendiri. Mengingat-Nya dan mengingat Aku sampai nanti gelombang ombak mendengar suara hati kita dan angin yang tak kunjung henti tersenyum kepada kau dan Aku yang sibuk menatap kau. Pertemuan yang Aku rancang sendiri Aku dan kau di pikiranku, di masa yang akan datang nanti.

Pada akhir surat ini. Aku berharap kau membaca yang tak kutulis atau memang kau mengerti. Di kota yang sama dan yang pernah kau kunjungi, Aku melihat kau menari dan terlihat bahagia di manapun tempat yang Aku datangi. Aku merasa seperti kau menuntunku untuk menemuimu atau kau sedang bercanda di pikiranku. Namun tetap saja Aku menikmati di manapun Aku berada selama kau dipikiranku.

Aku menulis tempat yang akan kita datangi nanti. Dengan perasaan yang sama Aku menantikan kau tersenyum dan memukul bahuku sambil berkata ternyata kau. Dalam hati Aku berharap bahwa benar bersetia pada kata hati adalah pekerjaan yang baik.

*Gambar: Ilustrasi Isi Cerita.

Penulis: Mandha, Aksarawan KOSAKATA (Komunitas Aksara Totabuan). Salah satu Penggiat Literasi dari KPMIBM (Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow) Cabang Gorontalo.

1 Comments

Tinggalkan Komentar